Hadhrah Abdul Qadir tampil sebagai contoh penting yang menunjukkan bahwa dalam Islam, mencari ilmu merupakan kewajiban suci—atas setiap muslim dan muslimah , dari buaian hingga liang lahat. la telah mengungguli sufi terbesar pada zamannya. la hafal Alquran dan belajar tafsir kepada Ali Abul Wafa al-Qayl, Abul Khaththab Mahfuzh, dan Abul Hasan Muhammad al-Qadhi. Menurut sebagian sumber, ia belajar kepada Qadhi Abu Sa'id al-Mubarak ibn Ali al-Muharrami, ulama ternama pada zamannya di Baghdad. Meski Hadhrah Abdul Qadir belajar tasawuf dari Syekh Hammad al-Dabbas dan memasuki jalan tarekat melaluinya, ia sendiri dianugerahi jubah darwis, simbol jubah Nabi saw. oleh Qadhi Abu Sa'id. Silsilah ruhani Qadhi Abu Sa'id dapat dirunut melalui Syekh Abut Hasan Ali Muhammad alQurasyi, Abut Faraj al-Tarsusi, al-Taminii, Syekh Abu Bakr al-Syibli, Abul Qasim, Siri al-Saqati, Ma'ruf al-Karkhi, Dawud al-Tha'i, Habib al-A'zhami, dan Hasan al-Bashri hingga sampai pada Hadhrah Ali ibn Abi Thalib. Hadhrah Ali menerima jubah pengabdian dari Nabi Muhammad saw., kekasih Tuhan semesta alam, yang menerimanya dari jibril, dan ia menerimanya dari Yang Mahabenar.
Suatu hari, seseorang bertanya kepada Syekh Abdul Qadir tentang apa yang diperolehnya dari Allah Swt. la menjawab, "Ilmu dan akhlak mulia." Qadhi Abu Sa'id al-Muharraini mengajar di madrasahnya di Bab al-Azj, Baghdad. Kemudian la serahkan madrasah itu kepada Syekh Abdul Qadir, yang telah menjadi pengajar di sang. Ketika itu, Syekh Abdul Qadir berusia lima puluh tahun. Ucapannya yang sangat fasih dan dahsyat, mampu memengaruhi siapa saja yang mendengarnya. Murid-murid dan jamaahnya bertambah pesat. Dalam waktu yang sangat singkat, tak ada tempat lagi di madrasah itu untuk menampung mereka. Syekh Abdul Qadir bercerita tentang saat-saat pertama pengajarannya:
Suatu pagi aku bertemu Rasulullah saw. yang bertanya kepadaku, "Mengapa kau diam saja?"
Aku berkata, "Aku orang Persia, bagaimana aku dapat berbahasa Arab dengan fasih di Baghdad?"
"Bukalah mulutmu," ujar Rasulullah. Aku menuruti perintahnya. Rasulullah meniup mulutku tujuh kali dan berkata, "Berdakwahlah dan ajak mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan kata-kata yang baik."
Lalu aku salat zuhur dan beranjak menemui orang-orang yang telah menantikan ceramahku. Saat melihat mereka, aku gugup. Lidahku menjadi kelu. Tiba-tiba aku melihat Imam Ali mendekatiku dan memintaku membuka mulut. Lalu ia meniupkan napasnya ke mulutku sebanyak enam kali. Aku bertanya, "Mengapa tidak tujuh kali seperti yang dilakukan Rasulullah?"
"Karena aku menghormati Rasulullah," ujar Imam Ali, dan ia berlalu.
Seketika itu pula meluncur kata-kata yang sangat lancar dari mulutku: "Akal adalah penyelam, yang menyelami samudera hati untuk menemukan mutiara hikmah. Jika ia membawanya ke tepian wujudnya, ia akan memicu pengucapan kata, dan dengan itu ia membeli mutiara ibadah dan pengabdian kepada Allah ..." Lalu kukatakan, "pada suatu malam seperti malam-malam yang kualami, jika di antara kalian mampu menaklukkan berahinya, kematian akan menjadi sangat indah sehingga baginya, tak ada sesuatu pun yang dapat menandingi keindahannya."
Sejak saat itu dan seterusnya, baik ketika terjaga maupun terlelap, aku senantiasa menjalankan kewajibanku sebagai pengajar. Ada begitu banyak ilmu keimanan dan agama dalam diriku. Ketika aku tak membicarakan atau melafalkannya, aku merasa ilmu-ilmu itu meluncur dengan sendirinya. Saat mulai mengajar, hanya ada beberapa murid yang mendengarkanku. Namun, tak lama kemudian, mereka bertambah hingga tujuh puluh ribu orang.
Madrasah dan pondoknya tak lagi mampu menampung para pengikutnya. Dibutuhkan tempat yang lebih luas. Orang kaya dan miskin membantu mendirikan bangunan. Orang kaya membantu dengan hartanya dan orang miskin dengan tenaganya. Bahkan kaum wanita di Baghdad pun ikut membantu. Seorang wanita muda yang bekerja secara sukarela memperkenalkan suaminya yang enggan bergotong royong kepada Syekh. "Ini suamiku," katanya, "aku telah menerima mahar darinya sebanyak dua puluh keping emas. Separuhnya akan kuberikan kembali kepadanya, dan separuhnya lagi akan kubayarkan jika la ikut bekerja di sini." Lalu keping emas itu ia serahkan kepada Hadhrah Abdul Qadir, dan laki-laki itu pun mulai bekerja. la terus bekerja meskipun jatah uang maharnya telah habis. Kendati demikian, Syekh tetap membayarnya karma Syekh tahu bahwa ia miskin.
Hadhrah Abdul Qadir al-jailani adalah ulama dan Imam (Imam ilmu-ilmu agama, kalam, dan fikih, serta tokoh terkemuka. Mazhab Syafi'i dan Hanbali. Keberadaannya memberi manfaat yang sangat besar bagi semua orang. Doa dan kutukannya selalu dikabulkan. la memiliki banyak keistimewaan. la adalah manusia sempurna yang selalu mengingat Allah, bertafakur, merenung, serta belajar dan mengajar.
Hatinya lembut, perilakunya santun, dan parasnya senantiasa tampak ceria. la juga selalu bersimpati dan memelihara perilaku yang mulia. Di mata orang-orang, ia tampil sebagai sosok yang berwibawa, dermawan, dan gemar memberi bantuan berupa uang, nasihat, maupun ilmu. la menyayangi sesama, terutama kaum mukmin yang taat dan selalu beribadah kepada Allah.
Penampilannya selalu terjaga sehingga terlihat tampan dan necis. la tak suka ngomong berlebihan. jika bicara, meski cepat, setiap kata maupun suku-katanya terdengar jelas. Bicaranya santun dan yang diucapkannya hanyalah kehenaran. la sampaikan kebenaran dengan lantang dan tegas. Ia tak peduli apakah orang lain akan memuji, mencela, mengkritik, atau bahkan memakinya.
Ketika Khalifah al-Muqtafi mengangkat Yahya ibn Sa'id sebagai qadi, atau kepala pengadilan, Hadhrah Abdul Qadir mengkritiknya di hadapan khalayak, "Kau telah mengangkat orang yang sangat zalim sebagai hakim atas kaum mukmin. Mari kita saksikan apa pembelaanmu ketika kau dihadapkan kepada Hakim Agung, Tuhan semesta alam." Mendengar kritikan pedas itu, khalifah gemetar dan menangis. la segera memecat qadi itu.
Saat itu, penduduk Baghdad mengalami kemerosotan moral dan perilaku. Berkat kehadiran Syekh Abdul Qadir, banyak penduduk yang benar-benar bertobat, menjaga perilaku, dan menjalankan syariat Islam dengan baik. Orang-orang pun semakin mencintai dan menghormati Syekh. Pengaruhnya semakin meluas. Orang saleh mencintainya dan para pelaku maksiat takut kepadanya. Banyak orang, termasuk raja, menteri, dan kaum bijak, datang meminta nasihatnya. Banyak Yahudi dan Kristen yang masuk Islam karenanya.
Ada seorang pendeta yang sangat bijak dan berpengaruh di Baghdad dan memiliki banyak pengikut. Ia memiliki pengetahuan yang luas, tidak hanya mengenai tradisi Yahudi dan Kristen, tetapi juga mengenai Islam. Ia pun mengetahui Kitab Suci Alquran dan sangat menghargai Nabi Muhammad saw. Khalifah menghormatinya dan berharap ia beserta pengikutnya masuk Islam. Sebenarnya, pendeta itu ingin memeluk agama Islam. Hanya saja, ia masih meragukan bahwa mikraj Nabi Muhammad saw. terjadi berikut raganya.
Peristiwa mikraj itu terjadi ketika Nabi Muhammad saw. diperjalankan dari Madinah ke Yerusalem dengan jasad dan ruhnya, kemudian naik ke tujuh lapis langit Berta menyaksikan banyak hal. Beliau melihat surga dan neraka, lalu bertemu dengan Allah Swt., yang menyampaikan sembilan ribu kata kepadanya. Saat pulang dari perjalanan itu, kasurnya belum mendingin dan daun yang tersentuh dalam perjalanan belum berhenti bergoyang.
Akal pendeta itu tidak menerima peristiwa mikraj itu dan segala yang disampaikan oleh Nabi saw. sepulangnya dari perjalanan itu. Bahkan, sesungguhnya banyak kaum muslimin ketika itu yang tidak memercayai penjelasan Nabi Muhammad saw. dan menjadi murtad. Peristiwa itu benar-benar menjadi ujian yang sangat berat bagi keimanan kaum
muslimin, karena akal tidak dapat menerima fenomena serupa itu.
Khalifah mengundang para bijak dan para syekh untuk meyakinkan si pendeta, namun tak ada yang mampu. Kemudian pada suatu sore, la memohon kepada Hadhrah Abdul Qadir untuk meyakinkan si pendeta mengenai kebenaran mikraj Nabi Muhammad saw.
Ketika Abdul Qadir datang ke istana, si pendeta dan khalifah tengah bermain catur. Saat si pendeta mengangkat sebuah bidak catur, tiba-tiba matanya beradu pandang dengan tatapan Syekh. Si pendeta memejamkan matanya.... Ketika membuka mata, tiba-tiba ia telah berada di sebuah sungai dan dihanyutkan oleh alirannya yang deras. la berteriak minta tolong. Seorang penggembala muda lompat ke sungai menyelamatkannya. Ketika pemuda itu memeluknya, ia sadar bahwa ia tidak berpakaian dan dirinya telah berubah menjadi seorang gadis.
Si penggembala menariknya keluar dari sungai serta menanyakan keluarga dan rumahnya. Ketika gadis itu menyebutkan Baghdad, si penggembala mengatakan bahwa butuh waktu berbulan-bulan untuk sampai ke sana.. Si penggembala menghormati, menjaga, dan melindunginya. Namun, karena tak ada tempat yang ditujunya, si penggembala menikahinya. Dari pernikahan itu mereka memiliki tiga orang anak
Suatu hari, saat si istri mencuci pakaian di sungai yang menghanyutkannya beberapa tahun silam, la tergelincir dan jatuh ke air. Ketika tersadar dan membuka mata .... ia dapati dirinya tengah duduk di hadapan Khalifah, memegang bidak catur, dan masih bertatapan pandang dengan Hadhrah Abdul Qadir, yang berujar kepadanya, "Hai pendeta yang malang, apakah saat ini kau masih enggan mengakui?"
Si pendeta, yang masih raga dan menganggap apa yang dialaminya itu hanyalah mimpi, menjawab, "Apa yang kau maksudkan?"
"Apakah kau ingin berjumpa dengan anak dan suamimu?" tanya Syekh Abdul Qadir seraya membuka pintu. Di depan pintu istana itu telah berdiri si penggembala dengan tiga orang anaknya. Mengalami runtutan kejadian ini, si pendeta langsung menyatakan keimanannya dan mengakui kebenaran mikraj Nabi saw. la dan jamaahnya yang berjumlah sekitar lima ribu orang masuk Islam melalui Hadhrah Abdul Qadir.
Bersambung ............
Oleh: Syekh Tosun Bayrak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar