Selamat Datang di Situs ISBDS Cipta Sejati Cabang Sumenep - Sekretariat : Jln. Pelabuhan Gersik Putih Barat HP : 085 232 435 621 - 087 850 111 728"

Cari Blog Ini

Keluarga Besar ISBDS CIPTA SEJATI Cabang Sumenep Insya Allah akan mengadakan acara Pembukaan Pusat Daya (PPD) & Kenaikan Tingkat, Kamis & Jum'at 24 & 25 Maret 2016 "

Senin, 18 April 2011

Mengenal Sang Sultan Aulia (Syekh Abdul Qadir Jailani) 2


Hadhrah Abdul Qadir tampil sebagai contoh penting yang menunjukkan bahwa dalam Islam, mencari ilmu me­rupakan kewajiban suci—atas setiap muslim dan muslimah , dari buaian hingga liang lahat. la telah mengungguli sufi terbesar pada zamannya. la hafal Alquran dan belajar tafsir kepada Ali Abul Wafa al-Qayl, Abul Khaththab Mahfuzh, dan Abul Hasan Muhammad al-Qadhi. Menurut sebagian sumber, ia belajar kepada Qadhi Abu Sa'id al-Mubarak ibn Ali al-Muharrami, ulama ternama pada zamannya di Baghdad. Meski Hadhrah Abdul Qadir belajar tasawuf dari Syekh Hammad al-Dabbas dan memasuki jalan tarekat melaluinya, ia sendiri dianugerahi jubah darwis, simbol jubah Nabi saw. oleh Qadhi Abu Sa'id. Silsilah ruhani Qadhi Abu Sa'id da­pat dirunut melalui Syekh Abut Hasan Ali Muhammad al­Qurasyi, Abut Faraj al-Tarsusi, al-Taminii, Syekh Abu Bakr al-Syibli, Abul Qasim, Siri al-Saqati, Ma'ruf al-Karkhi, Da­wud al-Tha'i, Habib al-A'zhami, dan Hasan al-Bashri hingga sampai pada Hadhrah Ali ibn Abi Thalib. Hadhrah Ali menerima jubah pengabdian dari Nabi Muhammad saw., kekasih Tuhan semesta alam, yang menerimanya dari jibril, dan ia menerimanya dari Yang Mahabenar.

Suatu hari, seseorang bertanya kepada Syekh Abdul Qa­dir tentang apa yang diperolehnya dari Allah Swt. la men­jawab, "Ilmu dan akhlak mulia." Qadhi Abu Sa'id al-Mu­harraini mengajar di madrasahnya di Bab al-Azj, Baghdad. Kemudian la serahkan madrasah itu kepada Syekh Abdul Qadir, yang telah menjadi pengajar di sang. Ketika itu, Syekh Abdul Qadir berusia lima puluh tahun. Ucapannya yang sangat fasih dan dahsyat, mampu memengaruhi sia­pa saja yang mendengarnya. Murid-murid dan jamaahnya bertambah pesat. Dalam waktu yang sangat singkat, tak ada tempat lagi di madrasah itu untuk menampung mere­ka. Syekh Abdul Qadir bercerita tentang saat-saat pertama pengajarannya:

Suatu pagi aku bertemu Rasulullah saw. yang bertanya kepa­daku, "Mengapa kau diam saja?"

Aku berkata, "Aku orang Persia, bagaimana aku dapat berbahasa Arab dengan fasih di Baghdad?"

"Bukalah mulutmu," ujar Rasulullah. Aku menuruti pe­rintahnya. Rasulullah meniup mulutku tujuh kali dan berkata, "Berdakwahlah dan ajak mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan kata-kata yang baik."

Lalu aku salat zuhur dan beranjak menemui orang-orang yang telah menantikan ceramahku. Saat melihat mereka, aku gugup. Lidahku menjadi kelu. Tiba-tiba aku melihat Imam Ali mendekatiku dan memintaku membuka mulut. Lalu ia meniupkan napasnya ke mulutku sebanyak enam kali. Aku bertanya, "Mengapa tidak tujuh kali seperti yang dilakukan Rasulullah?"

"Karena aku menghormati Rasulullah," ujar Imam Ali, dan ia berlalu.

Seketika itu pula meluncur kata-kata yang sangat lancar dari mulutku: "Akal adalah penyelam, yang menyelami samu­dera hati untuk menemukan mutiara hikmah. Jika ia memba­wanya ke tepian wujudnya, ia akan memicu pengucapan kata, dan dengan itu ia membeli mutiara ibadah dan pengabdian kepada Allah ..." Lalu kukatakan, "pada suatu malam seperti malam-malam yang kualami, jika di antara kalian mampu menaklukkan berahinya, kematian akan menjadi sangat in­dah sehingga baginya, tak ada sesuatu pun yang dapat me­nandingi keindahannya."

Sejak saat itu dan seterusnya, baik ketika terjaga mau­pun terlelap, aku senantiasa menjalankan kewajibanku seba­gai pengajar. Ada begitu banyak ilmu keimanan dan agama dalam diriku. Ketika aku tak membicarakan atau melafalkan­nya, aku merasa ilmu-ilmu itu meluncur dengan sendirinya. Saat mulai mengajar, hanya ada beberapa murid yang men­dengarkanku. Namun, tak lama kemudian, mereka bertambah hingga tujuh puluh ribu orang.

Madrasah dan pondoknya tak lagi mampu menam­pung para pengikutnya. Dibutuhkan tempat yang lebih luas. Orang kaya dan miskin membantu mendirikan bangunan. Orang kaya membantu dengan hartanya dan orang miskin dengan tenaganya. Bahkan kaum wanita di Baghdad pun ikut membantu. Seorang wanita muda yang bekerja secara sukarela memperkenalkan suaminya yang enggan bergotong royong kepada Syekh. "Ini suamiku," katanya, "aku telah menerima mahar darinya sebanyak dua puluh keping emas. Separuhnya akan kuberikan kembali kepadanya, dan sepa­ruhnya lagi akan kubayarkan jika la ikut bekerja di sini." Lalu keping emas itu ia serahkan kepada Hadhrah Abdul Qadir, dan laki-laki itu pun mulai bekerja. la terus bekerja meskipun jatah uang maharnya telah habis. Kendati demi­kian, Syekh tetap membayarnya karma Syekh tahu bahwa ia miskin.

Hadhrah Abdul Qadir al-jailani adalah ulama dan Imam (Imam ilmu-ilmu agama, kalam, dan fikih, serta tokoh ter­kemuka. Mazhab Syafi'i dan Hanbali. Keberadaannya mem­beri manfaat yang sangat besar bagi semua orang. Doa dan kutukannya selalu dikabulkan. la memiliki banyak keistime­waan. la adalah manusia sempurna yang selalu mengingat Allah, bertafakur, merenung, serta belajar dan mengajar.

Hatinya lembut, perilakunya santun, dan parasnya se­nantiasa tampak ceria. la juga selalu bersimpati dan me­melihara perilaku yang mulia. Di mata orang-orang, ia tam­pil sebagai sosok yang berwibawa, dermawan, dan gemar memberi bantuan berupa uang, nasihat, maupun ilmu. la menyayangi sesama, terutama kaum mukmin yang taat dan selalu beribadah kepada Allah.

Penampilannya selalu terjaga sehingga terlihat tampan dan necis. la tak suka ngomong berlebihan. jika bicara, meski cepat, setiap kata maupun suku-katanya terdengar je­las. Bicaranya santun dan yang diucapkannya hanyalah ke­henaran. la sampaikan kebenaran dengan lantang dan tegas. Ia tak peduli apakah orang lain akan memuji, mencela, mengkritik, atau bahkan memakinya.

Ketika Khalifah al-Muqtafi mengangkat Yahya ibn Sa'id sebagai qadi, atau kepala pengadilan, Hadhrah Abdul Qadir mengkritiknya di hadapan khalayak, "Kau telah mengangkat orang yang sangat zalim sebagai hakim atas kaum mukmin. Mari kita saksikan apa pembelaanmu ketika kau dihadap­kan kepada Hakim Agung, Tuhan semesta alam." Mende­ngar kritikan pedas itu, khalifah gemetar dan menangis. la segera memecat qadi itu.

Saat itu, penduduk Baghdad mengalami kemerosotan moral dan perilaku. Berkat kehadiran Syekh Abdul Qadir, banyak penduduk yang benar-benar bertobat, menjaga pe­rilaku, dan menjalankan syariat Islam dengan baik. Orang­-orang pun semakin mencintai dan menghormati Syekh. Pengaruhnya semakin meluas. Orang saleh mencintainya dan para pelaku maksiat takut kepadanya. Banyak orang, termasuk raja, menteri, dan kaum bijak, datang meminta nasihatnya. Banyak Yahudi dan Kristen yang masuk Islam karenanya.

Ada seorang pendeta yang sangat bijak dan berpenga­ruh di Baghdad dan memiliki banyak pengikut. Ia memiliki pengetahuan yang luas, tidak hanya mengenai tradisi Ya­hudi dan Kristen, tetapi juga mengenai Islam. Ia pun me­ngetahui Kitab Suci Alquran dan sangat menghargai Nabi Muhammad saw. Khalifah menghormatinya dan berharap ia beserta pengikutnya masuk Islam. Sebenarnya, pendeta itu ingin memeluk agama Islam. Hanya saja, ia masih me­ragukan bahwa mikraj Nabi Muhammad saw. terjadi ber­ikut raganya.

Peristiwa mikraj itu terjadi ketika Nabi Muhammad saw. diperjalankan dari Madinah ke Yerusalem dengan jasad dan ruhnya, kemudian naik ke tujuh lapis langit Berta menyaksi­kan banyak hal. Beliau melihat surga dan neraka, lalu berte­mu dengan Allah Swt., yang menyampaikan sembilan ribu kata kepadanya. Saat pulang dari perjalanan itu, kasurnya belum mendingin dan daun yang tersentuh dalam perjalan­an belum berhenti bergoyang.

Akal pendeta itu tidak menerima peristiwa mikraj itu dan segala yang disampaikan oleh Nabi saw. sepulangnya dari perjalanan itu. Bahkan, sesungguhnya banyak kaum muslimin ketika itu yang tidak memercayai penjelasan Nabi Muhammad saw. dan menjadi murtad. Peristiwa itu benar­-benar menjadi ujian yang sangat berat bagi keimanan kaum

muslimin, karena akal tidak dapat menerima fenomena se­rupa itu.

Khalifah mengundang para bijak dan para syekh un­tuk meyakinkan si pendeta, namun tak ada yang mampu. Kemudian pada suatu sore, la memohon kepada Hadhrah Abdul Qadir untuk meyakinkan si pendeta mengenai kebe­naran mikraj Nabi Muhammad saw.

Ketika Abdul Qadir datang ke istana, si pendeta dan khalifah tengah bermain catur. Saat si pendeta mengang­kat sebuah bidak catur, tiba-tiba matanya beradu pandang dengan tatapan Syekh. Si pendeta memejamkan matanya.... Ketika membuka mata, tiba-tiba ia telah berada di sebuah sungai dan dihanyutkan oleh alirannya yang deras. la ber­teriak minta tolong. Seorang penggembala muda lompat ke sungai menyelamatkannya. Ketika pemuda itu memeluknya, ia sadar bahwa ia tidak berpakaian dan dirinya telah ber­ubah menjadi seorang gadis.

Si penggembala menariknya keluar dari sungai serta me­nanyakan keluarga dan rumahnya. Ketika gadis itu menye­butkan Baghdad, si penggembala mengatakan bahwa butuh waktu berbulan-bulan untuk sampai ke sana.. Si penggem­bala menghormati, menjaga, dan melindunginya. Namun, karena tak ada tempat yang ditujunya, si penggembala me­nikahinya. Dari pernikahan itu mereka memiliki tiga orang anak

Suatu hari, saat si istri mencuci pakaian di sungai yang menghanyutkannya beberapa tahun silam, la tergelincir dan jatuh ke air. Ketika tersadar dan membuka mata .... ia dapa­ti dirinya tengah duduk di hadapan Khalifah, memegang bi­dak catur, dan masih bertatapan pandang dengan Hadhrah Abdul Qadir, yang berujar kepadanya, "Hai pendeta yang malang, apakah saat ini kau masih enggan mengakui?"

Si pendeta, yang masih raga dan menganggap apa yang dialaminya itu hanyalah mimpi, menjawab, "Apa yang kau ­maksudkan?"

"Apakah kau ingin berjumpa dengan anak dan suam­imu?" tanya Syekh Abdul Qadir seraya membuka pintu. Di depan pintu istana itu telah berdiri si penggembala dengan tiga orang anaknya. Mengalami runtutan kejadian ini, si pendeta langsung menyatakan keimanannya dan mengakui kebenaran mikraj Nabi saw. la dan jamaahnya yang berjum­lah sekitar lima ribu orang masuk Islam melalui Hadhrah Abdul Qadir.

Bersambung ............

Oleh: Syekh Tosun Bayrak

Minggu, 10 April 2011

Mengenal Sang Sultan Aulia (Syekh Abdul Qadir Jailani) 1


Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir al-jailani, se­moga Allah merahmatinya, adalah al-ghawts al-a'zham, manifestasi sifat Allah "Yang Maha Agung", yang mendengar permohonan dan memberikan pertolongan, dan al-quthb al­a'zham—pusat dan ujung kembara ruhani, pemimpin ruhani dunia, Alquran hikmah, perbendaharaan ilmu, teladan iman dan Islam, pewaris hakiki kesempurnaan Nabi Muhammad. la termasuk manusia sempurna—insiln kdmil; pendiri Tarekat Qadiriyah, yang tersebar luas di dunia Islam dan telah men­jaga makna tasawuf selama berabad-abad hingga kini.

la lahir pada 470 H. (1077-1078 M.) di al-jily, kini ter­masuk wilayah Iran. Tahun kelahirannya ini didasarkan atas tahun ketika tiba di Baghdad bertepatan dengan wafatnya se­orang ulama terkenal, al-Tamimi, yakni pada 488 H. Ibu­nya, Ummul Khayr Fatimah binti al-Syekh Abdullah Sumi, keturunan Rasulullah saw. melalui cucu terkasihnya, Husain, menuturkan, "Anakku, Abdul Qadir lahir di bulan Rama­dan. Di siang hari bulan Ramadan, bayiku itu tak pernah mau diberi makan."

Diriwayatkan bahwa pada suatu Ramadan, ketika Abdul Qadir masih bayi, orang-orang tak dapat melihat hilal kare­na tertutup awan. Akhirnya, untuk menentukan awal puasa, mereka mendatangi rumah Ummul Khayr dan menanya­kan apakah bayinya sudah makan hari itu. Saat mengeta­hui bahwa anak itu tak mau makan, mereka yakin bahwa Ramadan telah tiba.

Syekh Abdul Qadir menceritakan pengalamannya di masa kecil:

Di waktu kecil, ada malaikat yang selalu datang kepada­ku setiap hari dalam rupa pemuda tampan. Ia menemaniku ketika aku berjalan menuju madrasah dan membuat teman­temanku selalu mengutamakan diriku. Ia menemaniku se­harian hingga aku pulang. Dalam sehari, aku peroleh ilmu lebih banyak daripada yang diperoleh teman-teman sebaya‑

ku selama satu minggu. Aku tak pernah mengenali pemuda itu. Suatu hari, ketika aku bertanya kepadanya, ia menjawab, "Aku adalah malaikat yang diutus Allah. Dia mengutusku un­tuk melindungimu selama kau belajar."

Dalam kesempatan yang lain la bercerita:

Setiap kali terlintas keinginan untuk bermain bersama te­man-temanku, aku selalu mendengar bisikan: "Jangan berma­in, tetapi datanglah kepadaku wahai hamba yang dirahmati." Karena takut, aku berlari ke dalam pelukan Ibu. Kini, meski­pun aku beribadah dan berkhalwat dengan khusyuk, aku tak pernah bisa mendengar suara itu sejelas dulu.

Ketika ditanya mengenai apa yang mengantarkannya ke­pada maqam ruhani yang tinggi, ia menjawab, "Kejujuran yang pernah kujanjikan kepada ibuku." Kemudian Syekh menuturkan kisah berikut:

Pada suatu pagi di hari raya Idul Adha, aku pergi ke ladang untuk membantu bertani. Ketika berjalan di belakang keledai, tiba-tiba hewan itu menoleh dan memandangku, lalu berka­ta, "Kau tercipta bukan untuk hal semacam ini!" Mendengar hewan itu berkata-kata, aku sangat ketakutan. Aku segera ber­lari pulang dan naik ke atap rumah. Ketika memandang kedepan, kulihat dengan jelas para jamaah haji sedang wukuf di Arafah.

Kudatangi ibuku dan memohon kepadanya, "Izinkan aku menempuh jalan kebenaran, biarkan aku pergi mencari ilmu bersama para orang bijak dan orang-orang yang dekat kepa­da Allah." Ketika ibuku menanyakan alasan keinginanku yang tiba-tiba, kuceritakan apa yang terjadi. Mendengar penuturan­ku, ia menangis sedih. Namun, ia keluarkan delapan puluh keping emas harta satu-satunya warisan ayahku. Ia sisihkan empat puluh keping untuk saudaraku. Empat puluh keping lainnya dijahitkannya di bagian lengan mantelku. Ia membe­riku izin untuk pergi seraya berwasiat agar aku selalu bersikap jujur, apa pun yang terjadi. Sebelum berpisah, ibuku berkata, "Anakku, semoga Allah menjaga dan membimbingmu. Aku ikhlas melepas buah hatiku karena Allah. Aku sadar, aku tak­kan bertemu lagi denganmu hingga hari kiamat."

Aku ikut sebuah kafilah kecil menuju Baghdad. Baru saja meninggalkan kota Hamadan, sekelompok perampok, yang terdiri atas enam puluh orang berkuda, menghadang kami. Mereka merampas semua harta milik anggota kafilah. Salah seorang perampok mendekatiku dan bertanya, "Anak muda, apa yang kaumiliki?" Kukatakan bahwa aku punya empat puluh keping emas. Ia bertanya lagi, "Di mana?" Kukatakan, "Di bawah ketiakku." la tertawa-tawa dan pergi meninggal­kanku. Perampok lainnya menghampiriku dan menanyakan hal yang sama. Aku menjawab sejujurnya. Tetapi seperti ka­wannya, ia pun pergi sambil tertawa mengejek. Kedua peram­pok itu mungkin melaporkanku kepada pemimpinnya, karena tak lama kemudian pimpinan gerombolan itu memanggilku agar mendekati mereka yang sedang membagi-bagi hasil ram­pokan. Si pemimpin bertanya apakah aku memiliki harta. Kujawab bahwa aku punya empat puluh keping emas yang dijahitkan di bagian lengan mantelku. Ia ambil mantelku, ia sobek, dan ia temukan keping-keping emas itu. Keheranan, ia bertanya, "Mengapa kau memberitahu kami, padahal hartamu itu aman tersembunyi?"

"Aku harus berkata jujur karena telah berjanji kepada ibuku untuk selalu bersikap jujur."

Mendengar jawabanku, pemimpin perampok itu tersung­kur menangis. la berkata, "Aku ingat janjiku kepada Dia yang telah menciptakanku. Selama ini aku telah merampas harta orang dan membunuh. Betapa besar bencana yang akan me­nimpaku!?" Anak buahnya yang menyaksikan kejadian itu berkata, "Kau memimpin kami dalam dosa. Kini, pimpinlah kami dalam tobat!" Keenam puluh orang itu memegang ta­nganku dan bertobat. Mereka adalah kelompok pertama yang memegang tanganku dan mendapat ampunan atas dosa-dosa mereka.

Abdul Qadir berusia delapan belas tahun ketika tiba di Baghdad. Saat tiba di gerbang kota, Khidir muncul dan me­larangnya memasuki kota. Khidir mengatakan bahwa Allah melarangnya memasuki kota itu selama enam tahun. Ke­mudian Khidir membawanya ke sebuah bangunan tua dan berkata, "Tinggallah di sini dan jangan pergi meninggalkan tempat ini."

Akhirnya la menetap di sana selama tiga tahun. Setiap tahun Khidir datang dan memerintahkannya menetap di sana. Mengenai pengalamannya di tempat itu, Syekh Abdul Qadir bercerita:

Selama menetap di padang pasir di luar Baghdad, semua yang kulihat hanyalah keindahan dunia. Semuanya menggodaku. Namun, Allah melindungiku dari godaannya. Setan, yang muncul dalam berbagai paras dan rupa, terus mendatang­iku, menggoda, mengusik, bahkan menyerangku. Allah selalu menjadikanku sebagai pemenang. Hawa nafsuku pun datang setiap hari dengan paras dan rupa diriku sendiri memohon agar aku sudi menjadi sahabatnya. Ketika kutolak, ia menye­rangku. Allah menjadikanku sebagai pemenang dalam pepe­rangan tanpa henti ini. Aku berhasil menjadikannya sebagai tawananku selama bertahun-tahun dan memaksanya tinggal di bangunan tua di padang pasir itu. Selama beberapa tahun aku hanya makan rerumputan dan akar-akaran yang dapat kutemukan. Selama itu pula aku tak pernah minum. Tahun berikutnya, aku hanya minum tanpa makan apa-apa. Dan ta­hun berikutnya aku tak makan, tak minum, bahkan tak tidur. Aku tinggal di bangunan tua istana raja-raja Persia di Karkh. Aku berjalan bertelanjang kaki di alas duri-duri padang pasir dan tak merasakan apa-apa. Aku terus berjalan. Setiap kali kulihat tebing, aku mendakinya. Tak sedikit pun kuberikan kesempatan kepada hawa nafsuku untuk beristirahat atau merasa nyaman.

Di akhir tahun ketujuh, pada suatu malam, aku mende­ngar satu suara menyeru, "Hai Abdul Qadir, kini kau dapat memasuki Baghdad."

Akhirnya, kumasuki kota Baghdad dan tinggal di sana selama beberapa hari. Namun, aku tak tahan menyaksikan ke­maksiatan, kesesatan, dan kelicikan yang merajalela di kota itu. Agar terhindar dari pengaruh buruknya, aku pergi me­ninggalkan Baghdad dengan hanya membawa Alquran. Na­mun, ketika tiba di gerbang kota itu untuk kembali menyen­diri di padang sahara, kudengar satu suara berbisik, "Kemana kau akan pergi?" katanya, "Kembalilah. Kau harus menolong masyarakat. "

"Kenapa harus kupedulikan orang-orang bobrok itu?" se­ruku lantang, "aku harus melindungi imanku."

"Kembalilah, dan jangan khawatirkan imanmu," bisikan suara itu terdengar lagi. "Tak ada sesuatu pun yang akan membahayakan dirimu." Aku tak dapat melihat siapa gerang­an yang berbicara itu.

Kemudian sesuatu terjadi atas diriku. Entah apa yang mendorongku, tiba-tiba aku bertafakur. Seharian aku berdoa kepada Allah semoga Dia berkenan membukakan tabir dariku sehingga mengetahui apa yang harus kulakukan.

Hari berikutnya, ketika aku mengembara di pinggiran Baghdad, di sekitar Muzafariyah, seorang lelaki, yang tak per­nah kukenal sebelumnya, membuka pintu rumahnya dan me­manggilku, "Hai Abdul Qadir!"

Ketika berada tepat di depan pintu rumahnya, ia berka­ta, "Katakan kepadaku apa yang kauminta kepada Allah? Apa yang kaudoakan kemarin?"

Aku diam terpaku. Tak dapat kutemukan jawaban. Orang itu menatapku, lalu tiba-tiba membanting pintu dengan sa­ngat keras sehingga debu-debu beterbangan dan mengotori nyaris seluruh tubuhku. Aku pergi, sambil bertanya-tanya apa yang kupinta kepada Allah sehari sebelumnya. Aku berhasil mengingatnya, lalu kembali ke rumah orang itu untuk mem­berikan jawaban. Namun, rumah tadi tak dapat kutemukan,

begitu pun orang itu. Rasa takut menyelubungiku. Pikirku, ia tentu orang yang dekat kepada Allah. Kelak, aku mengetahui bahwa orang itu adalah Hammad al-Dabbas, yang kemudian menjadi guruku.

Pada suatu malam yang dingin, di tengah guyuran hu­jan deras, tangan gaib menuntun Abdul Qadir ke tekke, pa­depokan tasawuf milik Syekh Hammad ibn Muslim al-Dab­bas. Pemimpin padepokan itu, yang mengetahui kedatang­an Abdul Qadir melalui ilham, memerintahkan agar pintu padepokan ditutup dan lampu dipadamkan. Setibanya di depan pintu padepokan, Abdul Qadir dilanda kantuk yang hebat dan langsung tertidur lelap. Dalam tidurnya la ber­hadas besar sehingga ia pergi untuk mandi dan berwudu di sungai. Usai bersuci, kembali la tertidur dan berhadas lagi—hingga tujuh kali dalam semalam. Tujuh kali la mandi dan berwudu dengan air yang nyaris membekukan tubuh. Keesokan pagmya, pintu padepokan dibuka dan ia pun ma­suk ke dalamnya. Syekh Hammad bangkit untuk mengucap­kan salam kepadanya. Dengan penuh sukacita, Syekh me­meluknya dan berkata, "Wahai anakku, Abdul Qadir, hari ini keberuntungan milik kami. Esok, engkaulah pemiliknya.

Jangan pernah tinggalkan jalan ini." Syekh Hammad men­jadi guru pertamanya dalam tasawuf. Melalui tangan Syekh itulah ia bersumpah dan memasuki jalan tarekat.

Mengenai hal ini, Abdul Qadir meriwayatkan:

Aku belajar kepada banyak guru di Baghdad. Namun, setiap kali aku tak dapat memahami sesuatu atau ingin mengeta­hui suatu rahasia, Syekh Hammad memberiku penjelasan. Kadang-kadang aku memintanya mencari ilmu dari ularna lain—mengenai akidah, hadis, fikih, dan lain-lain. Setiap kali aku pulang ke padepokan, ia selalu bertanya,

"Ke mana saja kau? Selama kepergianmu, kami dapat­kan begitu banyak makanan yang sangat lezat bagi tubuh, akal, Serta jiwa dan tak sedikit pun yang kami sisakan un­tukmu!"

Di saat yang lain, ia berkata, "Demi Allah, dari mana saja? Adakah orang lain di sini yang lebih tahu daripada engkau?"

Murid-muridnya selalu mengusikku dengan mengatakan, "Kau adalah ahli fikih, mahir menulis, dan ahli ilmu. Meng­apa kau tidak keluar saja dari sini?"

Syekh menegur dan menenangkan mereka, "Sungguh me­malukan! Aku bersumpah, tak ada di antara kalian yang se­perti dia. Tak ada seorang pun di antara kalian yang lebih tinggi dari tumitnya! jika kalian kira bahwa aku iri kepada­nya dan kalian mendukungku, ketahuilah bahwa aku justru akan mengujinya dan mengantarkannya kepada kesempurna­an. Ketahuilah, di alam ruhani, kedudukannya seperti batu sebesar gunung."

Oleh: Syekh Tosun Bayrak

Jumat, 08 April 2011

BUTIR-BUTIR FILSAFAT KEPENDEKARAN

PENDEKAR adalah :

  • Laksana hamparan "kekosongan" yang tak bertepi. Dalam segala cita-cita dan tujuannya terasa tak terbatas walau semuanya sudah berhasil, dan maju terus tak berhenti. Dia hanya berbuat dan selalu berbuat pada kesejahteraan
  • Keluhuran den kebijaksanaan (berbudi buah laksana), sikap dan perbutannya selalu menjadi suri tauladan dan menjadi buah ketentraman.
  • Kesetiaan akan janji, semua kata-katanya selalu dapat dipercaya dan segalanya selalu ditepatinya.
  • Membimbing dan memimpin, selalu mengarahkan, mendidik, mengatur dan memberi contoh. Mengabdi dan melayani, berbuat dan rela berkorban demi kesetiaan dan siap membantu siapa yang membutuhkan.
  • Mengemban kasih persaudaraan, menciptakan perdamaian dan kerukunan entar sesama.
  • Pemberian terhadap yang membutuhkan, ikhlas dan mau mengerti pada kaum lemah.
  • Kerendahan hati dan kesusilaan tidak sombong dan suka menolong.
  • Kepatuhan terhadap hukum alam, menyadari bahwa setiap ada sebab pasti ada akibat, setiap perbuatan pasti ada balasan.
  • Ketenangan dan tafakur (meditasi/semedi), tidak gegabah dan penuh, rancangan
  • Ketenangan dan tawakal (dharma ), tenang , pasrah dan penuh siaga.
  • Ketenangan dan hati-hati , tenang penuh perhitungan.
  • Ketenangan dan keberanian , tenang pantang menyerah.
  • Ketenangan dan keteguhan , tenang dan kuat pendiriannya.
  • Ketenangan dan ketajaman, pasti , tenang membahayakan.
(dikutip dari buku RENUNGAN JIWA oleh GMy. Moch.Arifin)